Jurnalnetizen.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menggarisbawahi pentingnya transisi energi untuk mengantisipasi dampak gejolak ekonomi global.
Dalam pertemuan dengan Perwakilan Khusus Inggris untuk Iklim Rachel Kyte, ia menyoroti tentang transisi energi yang semakin kompleks untuk dilaksanakan di tengah dinamika global saat ini.
“Kondisi rantai pasokan yang terganggu telah menunda proses transisi energi,” tulis Sri Mulyani dalam akun Instagram miliknya.
Transisi energi juga menjadi topik yang sudah tidak sering dibahas lagi di berbagai forum multilateral, imbuhnya.
Selain itu, kondisi ekonomi dunia yang melemah sangat memengaruhi proses transisi energi.
“Jika negara kehilangan investasi di energi hijau karena kondisi ekonomi yang lemah, artinya proses transisi energi juga akan melambat dan penggunaan energi tak terbarukan seperti batubara, akan semakin lama, sementara dampak perubahan iklim sendiri tidak dapat dihindari,” jelasnya.
Oleh karena itu, Sri Mulyani menegaskan urgensi penanganan isu transisi energi.
Pemerintah Indonesia telah menggelontorkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk aksi iklim sebesar Rp610,12 triliun sepanjang 2016 hingga 2023.
Kepala Pusat Kebijakan Perubahan Iklim dan Pembiayaan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Boby Wahyu Hernawan merinci realisasi pendanaan untuk iklim rata-rata Rp76,3 triliun per tahun atau 3,2 persen dari APBN.
“Secara kumulatif, totalnya mencapai Rp610,12 triliun. Itu baru mencakup 12,3 persen dari kebutuhan pembiayaan iklim hingga 2030,” ujarnya.
Pemerintah terus mengoptimalkan pembiayaan publik dan mendorong keterlibatan sektor swasta.
Kementerian Keuangan juga telah memberikan berbagai insentif perpajakan, seperti untuk sektor pembangkit listrik terbarukan dan kendaraan listrik.
Sejak 2019 hingga 2024, pemerintah telah memberikan insentif fiskal senilai Rp38,8 triliun (US$2,3 miliar) untuk sektor terkait iklim, yang diperkirakan mencapai Rp51,5 triliun (US$3,1 miliar) pada akhir 2025.
Di sisi lain, pemerintah juga telah menyiapkan skema pembiayaan inovatif seperti sukuk hijau, obligasi SDG, dan penerapan taksonomi keuangan berkelanjutan.
Selain APBN, pemerintah telah menerapkan blended finance yang memadukan pembiayaan antara sektor publik dan swasta.
Sedangkan untuk sektor swasta, pemerintah mendorong pelaku usaha untuk proaktif dalam mengurangi emisi karbon, menerapkan praktik berkelanjutan, dan berinovasi dalam teknologi ramah lingkungan, termasuk efisiensi energi, ekonomi sirkular, dan pelaporan jejak karbon produk.
Pemerintah juga mendorong pelaku usaha untuk melakukan penandaan anggaran iklim dan mendukung penerapan kebijakan nilai ekonomi karbon, yang saat ini terbuka untuk pasar domestik dan internasional.