Jurnalnetizen.com – Pemerintah tengah mempertimbangkan teknologi China dan Rusia untuk pembangkit listrik tenaga nuklir pertamanya, karena ingin memanfaatkan cadangan uranium 24.000 ton di Kalimantan Barat untuk mendukung kebutuhan energi masa depannya, menurut rencana umum ketenagalistrikan (RUPTL) 2025–2034.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Yuliot Tanjung mengatakan pada hari Jumat bahwa pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir termasuk dalam peta jalan pemerintah untuk menambah kapasitas listrik sebesar 69,5 gigawatt (GW) selama dekade berikutnya. Dari jumlah tersebut, 500 megawatt (MW) direncanakan berasal dari energi nuklir, yang dibagi rata antara Sumatera dan Kalimantan.
“Pilihan yang tersedia sekarang mencakup teknologi nuklir dari China atau Rusia,” kata Yuliot kepada wartawan di Kementerian Energi di Jakarta. “Kami masih menilai apakah akan menggunakan teknologi reaktor modular kecil (SMR) atau desain skala besar.”
Sementara negara-negara seperti Korea Selatan telah memilih teknologi tenaga nuklir skala besar, Indonesia masih melihat referensi global untuk SMR sebelum memutuskan negara mitra.
Yuliot mengatakan pemerintah memprioritaskan pemilihan teknologi pada tahap ini, di samping pertimbangan persyaratan konten lokal, yang saat ini berada di sekitar 40 persen. Pemerintah belum menentukan mitra internasional untuk proyek nuklir tersebut.
Kementerian juga tengah menyiapkan regulasi baru untuk memungkinkan pengolahan bahan radioaktif, khususnya uranium yang ditemukan di Kalimantan Barat, yang dapat digunakan untuk bahan bakar PLTN masa depan.
Menurut RUPTL PLN, Kalimantan Barat memiliki cadangan uranium sekitar 24.112 ton di Kabupaten Melawi, beserta potensi energi terbarukan dari tenaga air, biomassa, dan biogas.
Uranium merupakan bahan bakar utama reaktor nuklir, tetapi pengembangan tenaga nuklir di Indonesia masih bergantung pada kebijakan pemerintah dan studi kelayakan. Negara ini saat ini tengah menyusun peraturan pemerintah untuk memungkinkan pemurnian dan pengolahan bahan radioaktif seperti uranium.
“Saat ini kami sedang menyelesaikan peraturan pemerintah tersebut. Mudah-mudahan dapat segera diimplementasikan untuk memungkinkan pengolahan uranium,” kata Yuliot. Ia menambahkan bahwa penanganan bahan radioaktif termasuk dalam bidang usaha khusus yang memerlukan pengawasan ketat.
Pemangku kepentingan dalam upaya pengembangan nuklir akan mencakup Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), dan Kementerian Energi.
“Kami juga sangat memperhatikan aspek lingkungan. Fokus kami saat ini adalah menyiapkan pemurnian dan pemrosesan uranium,” kata Yuliot.
Menteri Energi Bahlil Lahadalia sebelumnya mengumumkan bahwa Sumatera dan Kalimantan telah dipilih sebagai lokasi PLTN pertama Indonesia, masing-masing berkapasitas 250 MW. Inisiatif ini merupakan bagian dari transisi nasional menuju sumber energi terbarukan dan rendah karbon.
Menurut RUPTL, 61 persen atau 42,6 GW dari rencana penambahan kapasitas akan berasal dari energi terbarukan, sementara 15 persen atau 10,3 GW akan berupa energi penyimpan. Sisanya, 24 persen (16,6 GW) akan menggunakan bahan bakar fosil, termasuk 10,3 GW dari gas dan 6,3 GW dari batu bara.