Jurnalnetizen.com – Kementerian Luar Negeri Indonesia telah menyuarakan keprihatinannya atas Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR), dengan peringatan bahwa peraturan tersebut dapat berdampak secara tidak proporsional terhadap petani kecil yang memproduksi komoditas ekspor utama.
“Kami telah membahas masalah ini sebelumnya, dan di antara masalah yang sedang kita hadapi saat ini, dampak yang paling signifikan adalah pada petani kecil, terutama yang terlibat dalam karet, kakao, kopi, dan minyak sawit,” Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno mengatakan kepada wartawan di Jakarta pada hari Kamis.
Ia mengatakan peraturan tersebut dapat mempersulit petani kecil untuk mengekspor barang mereka ke UE, sementara petani di dalam blok tersebut dikecualikan berdasarkan klasifikasi “risiko yang dapat diabaikan” yang baru.
“Jika ini diterima, itu jelas mencerminkan praktik diskriminatif. Ada aturan yang hanya berlaku untuk petani UE, sementara mereka yang berada di luar Eropa diperlakukan berbeda,” katanya.
Oegroseno mengklarifikasi bahwa EUDR bukan bagian dari pembicaraan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-UE (IEU-CEPA) yang sedang berlangsung, tetapi sebaliknya sedang ditangani secara terpisah melalui koalisi negara-negara yang terkena dampak.
“Ada kelompok yang disebut ‘Like-Minded Countries’ atau LMC. Jadi kami punya forum sendiri untuk membahas isu ini secara khusus,” imbuhnya.
Ketika ditanya apakah Indonesia akan mempertimbangkan untuk mengajukan pengaduan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Oegroseno mengatakan opsi tersebut masih dalam peninjauan.
“Belum ada pengajuan. Prosesnya belum berjalan. Kami tidak tahu apakah akan diterima. Namun, bahkan pakar perdagangan Eropa mengakui ada alasan kuat bagi negara-negara non-UE untuk mengajukan hal ini ke WTO,” katanya.
Pada tanggal 4 Juni, Indonesia dan UE mengadakan dialog bilateral di Brussels untuk membahas implikasi EUDR. Dalam pertemuan tersebut, Indonesia secara resmi menolak penerapan peraturan tersebut secara sepihak, dampak ekstrateritorialnya, dan kurangnya konsultasi dengan negara-negara produsen.
Indonesia juga meminta klarifikasi atas beberapa poin, termasuk dasar hukum dan metodologi untuk klasifikasi risiko, pengakuan sistem legalitas nasional, potensi konflik dengan aturan WTO, dan beban administratif pada petani kecil terkait dengan persyaratan geolokasi dan ketertelusuran digital.
UE telah berkomitmen untuk memberikan tanggapan tertulis atas pertanyaan Indonesia dalam waktu dekat.