Jurnalnetizen.com – Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari Selasa mengeluarkan sepasang putusan penting yang mempersempit ruang lingkup Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kontroversial di negara ini, memperkuat perlindungan terhadap kebebasan berbicara dan mengklarifikasi kondisi di mana misinformasi digital dapat dituntut.
Dalam putusan pertama, pengadilan memutuskan bahwa tuduhan pencemaran nama baik berdasarkan Pasal 27A UU ITE yang direvisi tidak dapat digunakan untuk mengkriminalisasi kritik terhadap lembaga pemerintah atau kelompok dengan identitas tertentu. Putusan yang dibacakan oleh Ketua Mahkamah Agung Suhartoyo tersebut mengatakan bahwa badan publik tidak dapat diperlakukan sebagai korban berdasarkan ketentuan yang sama yang dirancang untuk melindungi kehormatan dan reputasi pribadi.
“Frasa ‘orang lain’ dalam Pasal 27A bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat kecuali ditafsirkan hanya merujuk pada orang perseorangan,” putus Mahkamah dalam Putusan No. 105/PUU-XXII/2024. Sanksi pidana yang menyertainya berdasarkan Pasal 45(4) juga dianggap tidak berlaku untuk lembaga dan kelompok.
Mahkamah berpendapat bahwa mengizinkan non-individu untuk mengajukan pengaduan pencemaran nama baik akan merusak nilai-nilai demokrasi dan menghambat kritik publik. Mahkamah menyatakan bahwa kritik yang membangun terhadap kebijakan pemerintah sangat penting dalam masyarakat yang demokratis dan harus dilindungi berdasarkan hak atas kebebasan berekspresi.
“Pembatasan hak ini akan mengikis pengawasan publik dan membuka pintu bagi penyalahgunaan kekuasaan,” kata Hakim Arief Hidayat.
Kasus ini diajukan oleh Daniel Frits Tangkilisan, seorang aktivis lingkungan yang sebelumnya dihukum karena mengkritik operasi tambak udang di Karimunjawa, Jawa Tengah. Bandingnya menunjukkan interpretasi yang tidak jelas tentang siapa yang memenuhi syarat sebagai “korban” menurut hukum.
Putusan tersebut menyelaraskan UU ITE dengan Pasal 433 KUHP 2023, yang juga mengecualikan lembaga dari dianggap sebagai korban dalam kasus pencemaran nama baik. Selain itu, Pasal 45(7) UU ITE sudah mengatur bahwa kritik yang dibuat untuk kepentingan umum atau pembelaan diri tidak dapat dituntut.
Dalam putusan terpisah namun terkait, Mahkamah Konstitusi juga mendefinisikan ulang makna hukum “kerusuhan masyarakat” dalam perkara penyebaran berita bohong atau hoaks secara daring. Dalam Putusan Nomor 115/PUU-XXII/2024, Mahkamah menyatakan istilah “kerusuhan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE harus dimaknai secara ketat sebagai kerusuhan yang terjadi di ruang publik secara fisik, bukan di ruang digital atau dunia maya.
“Kerusuhan masyarakat harus mengacu pada gangguan terhadap ketertiban umum di ruang fisik, bukan di ruang digital,” kata Hakim Arsul Sani dalam putusan tersebut.
Putusan tersebut memperjelas bahwa Pasal 28 ayat (3) yang mengatur tentang siapa saja yang dengan sengaja menyebarkan informasi bohong yang dapat menimbulkan keresahan, hanya berlaku jika kerusuhan tersebut mengakibatkan gangguan fisik yang nyata di masyarakat. Pelanggaran dapat diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Mahkamah memperingatkan bahwa tanpa klarifikasi ini, penegak hukum dapat menyalahgunakan hukum untuk menyasar kritik atau perdebatan daring yang tidak menghasilkan konsekuensi di dunia nyata.
Peninjauan konstitusional diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar, seorang jaksa penuntut dan aktivis kebijakan publik yang takut dikriminalisasi karena kritiknya yang blak-blakan terhadap kebijakan pemerintah.