Jurnalnetizen.com – Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq meminta raksasa energi milik negara, PT.Pertamina, untuk segera mengadopsi standar bahan bakar tingkat Eropa karena Jakarta terguncang oleh lonjakan polusi udara yang telah menempatkannya di antara kota-kota paling tercemar di dunia.
Berbicara pada hari Jumat, Hanif mendesak PT.Pertamina untuk mulai memproduksi dan mendistribusikan bahan bakar rendah sulfur sesuai dengan standar Eropa, di mana bensin dan solar telah dibatasi hanya 10 bagian per juta (ppm) sulfur sejak 2009. “Untuk kota seukuran dan serumit Jakarta, hanya standar tingkat Eropa yang cukup,” kata Hanif.
Hampir semua bahan bakar di Jabodetabek dipasok oleh kilang Balongan milik PT.Pertamina di Jawa Barat. Sebuah studi yang didukung pemerintah yang dikutip oleh Hanif menunjukkan bahwa emisi bahan bakar berkontribusi antara 35 hingga 57 persen dari polusi udara Jakarta, yang menyoroti kebutuhan mendesak akan alternatif bahan bakar yang lebih bersih.
Meskipun Hanif mengakui bahwa memproduksi bahan bakar dengan sulfur sangat rendah akan meningkatkan biaya operasional, ia mengatakan biaya tersebut kecil dibandingkan dengan beban ekonomi dari masalah kesehatan terkait polusi. Antara tahun 2018 dan 2022, Indonesia mengalami kerugian hampir Rp16 triliun ($980 juta) akibat penyakit pernapasan yang terkait dengan polusi udara, belum termasuk biaya tidak langsung atau yang tidak diasuransikan.
“Pertamina harus bertindak secara bertanggung jawab dengan menyelaraskan diri dengan standar lingkungan global,” kata Hanif. “Jika tidak, biayanya akan terus ditanggung oleh sistem kesehatan publik dan masyarakat kita.”
Saat ini, bahan bakar yang banyak digunakan seperti Pertalite dan Solar mengandung kadar sulfur jauh di atas norma internasional, dengan Pertalite sekitar 700 ppm dan Solar mencapai hingga 2.500 ppm. Hanya Pertamax Turbo yang memenuhi standar 10 ppm, tetapi biayanya yang lebih tinggi telah membatasi penggunaannya.
Hanif juga mengeluarkan peringatan hukum yang keras, merujuk pada Pasal 99 Undang-Undang Perlindungan Lingkungan Hidup Indonesia tahun 2009, yang memungkinkan hukuman penjara hingga satu tahun dan denda Rp3 miliar ($183.800) bagi pihak-pihak yang terbukti lalai dalam menyebabkan kerusakan lingkungan. “Tidak ada seorang pun yang kebal hukum, bahkan PT. PERTAMINA,” katanya.
Kementerian telah mengintensifkan langkah-langkah pengendalian polusi. Pihak berwenang menutup dua pabrik di Cikarang minggu ini karena berkontribusi terhadap kualitas udara yang berbahaya. Tindakan lebih lanjut direncanakan, termasuk inspeksi lebih dari 4.000 cerobong asap pabrik di 48 kawasan industri, dan penindakan terhadap pembakaran limbah ilegal dan debu dari konstruksi, yang secara bersama-sama menyumbang lebih dari seperempat polusi udara.
Untuk memastikan kerja sama yang lebih luas, Hanif mengatakan Kementerian Lingkungan Hidup akan segera memulai deklarasi bersama dengan Gubernur Jakarta dan para pemimpin daerah di seluruh Jabodetabek untuk mengonsolidasikan upaya melawan pencemar. “Kita membutuhkan kekuatan kolektif untuk mengembalikan warna biru ke langit Jakarta,” katanya.