Jurnalnetizen.com – Ketergantungan Indonesia pada impor minyak dan gas mungkin merupakan hasil dari sabotase kebijakan yang disengaja, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia mengemukakan pada hari Senin, saat pemerintah berupaya untuk menghidupkan kembali kemandirian energi dalam negeri.
Berbicara di Forum Mineral Energi 2025 di Hotel Kempinski di Jakarta, Bahlil mengatakan konsumsi energi negara ini, khususnya minyak dan gas, masih sangat bergantung pada impor, meskipun kapasitas historis Indonesia untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
“Apakah produksi minyak kita yang menurun karena kurangnya sumber daya alam? Atau apakah ini sengaja ditekan untuk membenarkan impor yang berkelanjutan?” kata Bahlil. “Sejujurnya, saya yakin ini memang disengaja.”
Meskipun tidak menyebutkan nama, Bahlil menuduh bahwa aktor tertentu telah dengan sengaja merusak kapasitas produksi minyak Indonesia, yang pada akhirnya melemahkan kemandirian energi nasional.
Pemerintah memperketat pengawasan sektor energi menyusul skandal korupsi besar yang melibatkan anak perusahaan PT. PERTAMINA. Mulai Februari, izin impor bahan bakar akan ditinjau setiap tiga bulan untuk mencegah penyalahgunaan dan meningkatkan transparansi. Langkah ini menyusul dugaan penyimpangan yang merugikan negara sekitar Rp 193,7 triliun ($11,9 miliar) antara tahun 2018 dan 2023. Di antara mereka yang disebutkan dalam kasus tersebut adalah Muhammad Kerry Adrianto Riza, seorang eksekutif di Navigator Khatulistiwa dan putra taipan minyak Mohammad Riza Chalid. Riza, tokoh lama dalam perdagangan minyak Indonesia, pernah mengendalikan PT. PERTAMINA. Energy Trading Ltd (PETRAL) dan Global Energy Resources. Namanya telah muncul dalam kontroversi sebelumnya, termasuk kasus impor minyak mentah Zatapi tahun 2008, yang kemudian dibatalkan karena kurangnya kerugian negara yang terbukti.
Bahlil bercerita, Indonesia pernah mencapai kemandirian energi pada pertengahan 1990-an, saat produksi minyak mencapai 1,6 juta barel per hari (BOPD) dengan konsumsi hanya sekitar 500.000 BOPD sehingga surplusnya bisa diekspor.
“Dulu migas menyumbang hingga 45 persen pendapatan nasional. Kita pernah menjadi eksportir neto dan bangga akan hal itu,” katanya. “Sekarang, kita hanya memproduksi 500.000-600.000 BOPD. Itu penurunan drastis.”
Ia mengaitkan penurunan itu dengan krisis keuangan Asia 1997 dan perubahan regulasi berikutnya, tetapi menekankan bahwa ketergantungan impor saat ini bersumber dari masalah sistemik yang harus ditangani secara langsung.
Untuk membalikkan tren ini, Kementerian Energi memprioritaskan optimalisasi sekitar 40.000 sumur minyak di negara ini, sekitar setengahnya saat ini tidak produktif. Bahlil mengatakan pemerintah akan menekan kontraktor migas untuk merevitalisasi sumur-sumur tersebut dan siap mengambil tindakan tegas terhadap operator yang berkinerja buruk.
Salah satu targetnya adalah Inpex Corporation Jepang, yang memegang hak atas blok lepas pantai utama di wilayah Masela, Maluku, tetapi belum memulai produksi, 26 tahun setelah pemberian izin awal.
“Saya sudah mengeluarkan surat peringatan pertama,” kata Bahlil. “Jika mereka terus bermain-main, akan ada peringatan kedua. Jika tidak ada perubahan, kami akan mencabut izin mereka atas nama negara. Ini serius.”
Ini bukan kali pertama pemerintah menetapkan batas waktu produksi Blok Masela. Sebelumnya, pendahulu Bahlil, Arifin Tasrif, telah mendesak operator proyek untuk mulai berproduksi paling lambat 30 Desember 2029, menyusul masuknya PT. Minyak Bumi dan Gas (BBM) Indonesia sebagai mitra peserta blok tersebut.
Berlokasi di lepas pantai dekat Pulau Nustual di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Blok Masela diperkirakan memiliki potensi gas sebesar 1.600 juta kaki kubik standar per hari (MMSCFD), setara dengan 9,5 juta ton gas alam cair (LNG) per tahun, beserta 35.000 barel kondensat per hari, menurut data pemerintah.
Bahlil membenarkan bahwa dirinya telah menerima persetujuan Presiden Prabowo untuk mulai mengevaluasi kontraktor migas yang proyeknya tertunda atau tidak aktif.
“Pemerintah berkomitmen untuk mengembalikan status Indonesia sebagai pusat kekuatan energi,” katanya. “Dulu kita dikenal sebagai Macan Asia. Kita akan mencapainya lagi.”
Blok Masela dioperasikan oleh Inpex Masela Ltd., yang memegang 65 persen saham. Sisanya, 35 persen, dimiliki bersama oleh PT. Petronas dari Malaysia, setelah mereka mengakuisisi saham Shell di proyek tersebut pada Juli 2023.
Blok ini awalnya diberikan pada November 1998 berdasarkan konsesi selama 30 tahun yang akan berakhir pada 2028. Kontrak tersebut kemudian diperpanjang 20 tahun lagi, sehingga memperpanjang jangka waktu proyek.