Jurnalnetizen.com – Delegasi dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengunjungi Beijing dan Shanghai untuk mendapatkan perspektif dan wawasan baru saat lembaga tersebut bersiap merevisi undang-undang penyiaran negara tersebut, yang telah berlaku sejak 2002.
Delegasi tersebut memulai kunjungannya di Shanghai, mengadakan diskusi dengan para eksekutif dari Shanghai Media Group. Mereka kemudian melakukan perjalanan ke Beijing untuk bertemu dengan China Media Group dan Administrasi Radio dan Televisi Nasional, regulator penyiaran negara tersebut.
“Ini adalah kunjungan pertama kami ke China sejak KPI didirikan pada tahun 2003. Tujuan kami adalah untuk mempelajari kebijakan penyiaran Tiongkok dan mengeksplorasi apakah aspek-aspek tertentu dapat diadaptasi untuk diterapkan di Indonesia,” kata Ketua KPI Ubaidillah saat pertemuan di Kedutaan Besar Indonesia di Beijing pada Senin malam.
Ubaidillah didampingi oleh sesama komisioner Tulus Santoso, Muhammad Hasrul Hasan, dan Aliyah.
Acara di KBRI tersebut juga dihadiri oleh Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangun, Wakil Duta Besar Parulian Silalahi, dan sekitar 50 mahasiswa dan pekerja migran Indonesia yang bermukim di Beijing.
“Kita tidak hanya melihat Eropa atau Amerika Serikat ketika mempelajari regulasi penyiaran. Penting juga untuk belajar dari China, mengingat Indonesia dan China merupakan negara besar dengan jumlah penduduk yang besar pula,” imbuh Ubaidillah.
Revisi yang diusulkan terhadap undang-undang penyiaran Indonesia telah memicu kritik publik, khususnya atas ketentuan yang dapat melarang jurnalisme investigasi oleh penyiar televisi. Draf tersebut juga memberikan kewenangan yang lebih luas kepada KPI untuk campur tangan dalam konten jurnalistik sebuah langkah yang menurut para kritikus dapat tumpang tindih dengan peran Dewan Pers yang ada saat ini.
Berdasarkan Undang-Undang Pers Indonesia, yang disahkan pada tahun 1999, perselisihan yang terkait dengan pekerjaan jurnalistik harus diselesaikan secara eksklusif oleh Dewan Pers, asalkan tidak melibatkan pelanggaran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Ketentuan lain yang kontroversial dalam draf tersebut adalah pencantuman konsekuensi hukum untuk pelaporan palsu dan pencemaran nama baik, yang menurut para kritikus dapat menimbulkan banyak interpretasi dan berpotensi merusak kebebasan pers.