Jurnalnetizen.com – Kelas menengah Indonesia menyusut, menimbulkan kekhawatiran tentang keberlanjutan ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini, ujar seorang analis, Senin.
Eko Listiyanto, Direktur Pengembangan Big Data di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), memperingatkan bahwa pemerintah sebagian besar telah mengabaikan kelompok berpenghasilan menengah meskipun perannya yang krusial dalam mendorong konsumsi rumah tangga.
“Daya beli kelas menengah perlu didukung dengan insentif seperti diskon listrik, subsidi transportasi umum, atau beban pajak yang lebih ringan,” ujar Eko kepada Beritasatu.com, Senin. “Jika daya beli mereka membaik, konsumsi rumah tangga dapat terakselerasi sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen.”
Pengeluaran rumah tangga merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia, menyumbang 54,25 persen dari produk domestik bruto pada kuartal kedua tahun 2025, menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Konsumsi berkontribusi 2,64 poin persentase dari pertumbuhan ekonomi negara sebesar 5,12 persen selama periode tersebut.
Namun, jumlah penduduk kelas menengah Indonesia telah menurun selama lima tahun terakhir, dari 57,33 juta jiwa pada tahun 2019 menjadi 47,85 juta jiwa pada tahun 2024, menurut data BPS. Pertumbuhan konsumsi juga melambat hingga di bawah 5 persen, menunjukkan melemahnya permintaan di kalangan rumah tangga yang biasanya memiliki pengeluaran stabil.
Eko memperingatkan bahwa mengabaikan kelompok ini dapat mendorong lebih banyak keluarga ke dalam kemiskinan, yang selanjutnya melemahkan permintaan domestik. “Tanpa insentif bagi kelas menengah, jumlah mereka mungkin terus menurun, begitu pula kontribusinya terhadap PDB,” ujarnya.
Ia juga mendesak agar program bantuan sosial bagi rumah tangga berpenghasilan rendah dirancang untuk membantu penerimanya mencapai kemandirian ekonomi. “Kita perlu membantu rumah tangga miskin keluar dari sistem kesejahteraan dengan meningkatkan keterampilan, akses modal, dan peluang pasar untuk pekerjaan atau kewirausahaan,” kata Eko.
Industri otomotif Indonesia menggambarkan tekanan yang dihadapi kelas menengah. Sektor ini bersiap menghadapi revisi penurunan target penjualan mobil tahun 2025 setelah permintaan yang lemah dan transaksi yang lesu di pameran otomotif terbesar di Indonesia mengisyaratkan masalah yang lebih besar di masa mendatang. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia, atau Gaikindo, awalnya menetapkan target 900.000 unit untuk tahun ini, tetapi penjualan hingga Juni turun 8,6 persen menjadi 374.740 unit dari 410.020 unit pada tahun sebelumnya.
Ketua Umum Gaikindo, Yohannes Nangoi, mengatakan perlambatan tersebut mencerminkan tekanan ekonomi makro yang mengikis daya beli kelas menengah, terutama untuk barang-barang non-esensial seperti mobil. Sebagai salah satu indikator kepercayaan rumah tangga yang paling terlihat, penjualan mobil seringkali mencerminkan kesehatan kelas menengah Indonesia. Bahkan Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS), yang biasanya menjadi indikator sentimen industri, melaporkan lebih sedikit transaksi meskipun menarik lebih banyak pengunjung dibandingkan tahun 2024.
“Situasi ekonomi agak menantang, dan penjualan kendaraan secara keseluruhan telah menurun sepanjang paruh pertama tahun ini,” kata Nangoi, seraya mencatat bahwa kehati-hatian konsumen telah membebani sektor ini. Penurunan ini menggarisbawahi tekanan yang lebih luas pada konsumsi domestik, yang menyumbang lebih dari separuh perekonomian dan menunjukkan tanda-tanda kehilangan momentum tahun ini.