Jurnalnetizen.com – Kementerian Kesehatan Indonesia telah memperingatkan akan adanya peningkatan tajam jumlah perokok, termasuk di kalangan anak-anak, seiring dengan upaya negara ini untuk menekan angka merokok meskipun telah memiliki peraturan yang berlaku.
Dalam konferensi pers virtual yang diselenggarakan oleh Dewan Pemuda Indonesia untuk Perubahan Taktis pada hari Kamis, Siti Nadia Tarmizi, Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, mengungkapkan bahwa 70,2 juta orang dewasa Indonesia adalah pengguna tembakau, dengan 68,9 juta di antaranya merupakan perokok aktif.
“Meskipun tingkat prevalensi merokok tampaknya telah menurun sejak tahun 2013, jumlah perokok sebenarnya telah meningkat sebesar 5 juta jiwa karena pertumbuhan penduduk, dari 57,2 juta jiwa pada tahun 2013 menjadi 63,1 juta jiwa pada tahun 2023,” ujar Nadia, seraya menambahkan bahwa peningkatan tersebut setara dengan seluruh populasi negara kecil seperti Singapura.
Yang sama memprihatinkannya, jumlah perokok anak dan remaja berusia 10–18 tahun telah melonjak dari 2 juta pada tahun 2013 menjadi 5,9 juta pada tahun 2023. Data dari Survei Kesehatan Indonesia 2023 juga menunjukkan bahwa 2,6 persen anak berusia 4–9 tahun, 44,7 persen berusia 10–14 tahun, dan 52,8 persen berusia 15–19 tahun melaporkan telah mulai merokok.
Nadia menyoroti kesenjangan dalam penegakan hukum di tingkat akar rumput, di mana anak-anak di bawah umur masih dapat membeli rokok meskipun ada peraturan yang melarang penjualan kepada mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Ia menekankan bahwa langkah-langkah yang lebih ketat diperlukan untuk mencegah anak di bawah umur mengakses produk tembakau.
“Di banyak negara, terdapat pemantauan digital yang lebih ketat dan perlindungan terhadap produk nikotin baru, sementara kita masih bergulat dengan penegakan hukum dasar,” kata Nadia.
Beladenta Amalia, Pimpinan Proyek Pengendalian Tembakau di LSM berbasis kesehatan, CISDI, mengatakan bahwa Indonesia tertinggal dari negara-negara lain yang telah mengaitkan pajak tembakau dengan langkah-langkah pengendalian berkelanjutan. Ia mencontohkan Brasil, yang menaikkan cukai tembakau setiap tahun, dan Vietnam, yang mengenakan pajak tambahan sebesar 2 persen di tingkat pabrik untuk mendanai upaya pengendalian tembakau.
“Di Amerika Latin, meskipun cukai lebih tinggi, tingkat rokok ilegal justru menurun,” kata Beladenta.
Manik Marganamahendra, Ketua Dewan Pemuda Indonesia untuk Perubahan Taktis, memperingatkan bahwa perusahaan-perusahaan tembakau telah mengubah strategi pemasaran mereka untuk menyasar kaum muda melalui saluran-saluran yang menghindari pengawasan regulasi tradisional, termasuk acara musik dan kolaborasi dengan influencer.
“Indonesia sedang berupaya merespons ancaman-ancaman ini, tetapi kita membutuhkan keberanian politik untuk beralih dari dokumen teknis ke implementasi nyata,” kata Manik. “Menteri Kesehatan seharusnya berbicara untuk kesehatan masyarakat, bukan berkompromi dengan industri tembakau.”
Dr. Putu Ayu Swandewi Astuti, Ketua Udayana Central, menekankan pentingnya mengadopsi kemasan polos untuk meningkatkan efektivitas peringatan kesehatan grafis, dengan alasan bahwa merek berwarna-warni pada kemasan rokok dapat melemahkan pesan kesehatan dan menarik minat kaum muda.
“Kemasan polos dapat membuat peringatan kesehatan lebih jelas dan mengurangi daya tarik produk tembakau di kalangan kaum muda,” ujarnya.
Shoim Shariati, Ketua Yayasan KAKAK, menekankan bahwa komitmen para pemimpin daerah adalah kunci keberhasilan kebijakan kawasan bebas asap rokok, dan menyerukan dukungan yang lebih kuat dari pemerintah pusat untuk mereplikasi praktik-praktik daerah yang efektif di seluruh negeri.
“Pelarangan total terhadap iklan, promosi, dan sponsor tembakau di tingkat lokal, yang didukung oleh kebijakan nasional, sangat penting untuk melindungi anak-anak dari tembakau,” ujar Shoim.