Jurnalnetizen.com – Perekonomian Indonesia menunjukkan tanda-tanda kesulitan di tengah melambatnya pertumbuhan, meningkatnya PHK, dan deflasi, yang mendorong seruan bagi pemerintah untuk memprioritaskan respons kebijakan riil daripada retorika yang meyakinkan.
Ekonom Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty mengatakan tanda-tanda kelelahan ekonomi semakin nyata pada awal 2025, dengan daya beli konsumen yang lemah, PHK yang meluas, dan penurunan permintaan secara keseluruhan.
“Pemerintah harus berhenti bersikeras bahwa perekonomian baik-baik saja. Optimisme itu penting, tetapi harus didasarkan pada kenyataan dan diimbangi dengan tindakan kebijakan yang serius,” kata Telisa pada hari Selasa.
Produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh sebesar 4,87 persen pada kuartal pertama tahun 2025 turun dari 5,04 persen pada Q4-2024 dan 5,02 persen pada Q1-2024. Perlambatan tersebut disertai dengan gelombang PHK, terutama di sektor-sektor utama seperti tekstil dan e-commerce. Dalam satu kasus yang mendapat banyak perhatian, raksasa tekstil Sritex bangkrut, menyebabkan lebih dari 10.000 pekerja menganggur.
Yang menambah kekhawatiran, Indonesia mencatat deflasi sebesar 0,37 persen pada Mei 2025, yang mencerminkan pelemahan lebih lanjut dalam belanja konsumen.
“Deflasi dalam kondisi seperti ini adalah tanda bahaya. Deflasi menegaskan bahwa daya beli sedang tertekan, dan ini terjadi saat PHK massal masih berlangsung,” kata Telisa. “Tanpa langkah kebijakan yang cepat dan berarti, hal ini dapat semakin memburuk.”
Langkah Stimulus Tidak Memadai
Untuk mengatasi perlambatan, pemerintah telah memperkenalkan paket lima program stimulus untuk periode Juni-Juli 2025: diskon tiket transportasi dan biaya tol, bantuan pangan, subsidi upah, dan pemotongan premi asuransi kecelakaan kerja. Inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan belanja rumah tangga selama musim liburan sekolah.
Sambil menyambut baik upaya tersebut, Telisa berpendapat bahwa langkah-langkah tersebut tidak cukup untuk menyegarkan kembali pertumbuhan dan melindungi lapangan kerja.
“Kita memerlukan lebih banyak program padat karya yang dibiayai oleh anggaran negara yang dapat menyerap pekerja dengan cepat,” katanya. “Belanja publik juga harus memprioritaskan industri dalam negeri dan mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).”
Seruan untuk Stimulus Moneter
Selain stimulus fiskal, Telisa Aulia Falianty juga menyerukan intervensi moneter yang lebih kuat, khususnya suku bunga yang lebih rendah, untuk merangsang pinjaman dan aktivitas bisnis.
“Stimulus moneter khususnya dalam bentuk suku bunga pinjaman yang lebih rendah sangat penting. Bank harus menyampaikan kebijakan ini secara lebih efektif sehingga kredit bisnis dapat tumbuh,” tambahnya.
Tanpa upaya yang terkoordinasi dan berkelanjutan di bidang fiskal dan moneter, Telisa Aulia Falianty memperingatkan, Indonesia berisiko memasuki siklus perlambatan pertumbuhan, terkikisnya daya beli, dan semakin banyaknya kehilangan pekerjaan.