Jurnalnetizen.com – Sentul City (BKSL), pemegang bank tanah terbesar di Indonesia, dilaporkan bermitra dengan dana investasi negara (Danantara) untuk mengembangkan kawasan ekonomi khusus (KEK) yang berfokus pada kesehatan, terinspirasi oleh Chengdu Biotown di China, menurut riset dari RHB Sekuritas.
Biotown Chengdu, yang terletak di provinsi Sichuan, China, merupakan pusat biomedis unggulan yang membentang lebih dari 40 kilometer persegi. Kawasan ini menampung perusahaan farmasi terkemuka, perusahaan rintisan bioteknologi, lembaga penelitian, dan produsen alat kesehatan, yang didukung oleh infrastruktur canggih dan insentif pemerintah.
Proyek ini akan dibangun di atas lahan milik BKSL. Meskipun kedua belah pihak belum membuat pengumuman resmi, RHB mengharapkan pernyataan resmi dalam beberapa minggu mendatang.
Inisiatif yang dilaporkan ini muncul di tengah perombakan dewan direksi BKSL, yang melibatkan beberapa mantan pejabat pemerintah, termasuk Yuswandi Arsyad Tumenggung, Wahyu Utomo, Lukita Dinarsyah Tuwo, dan Gatot Sudariyono.
Di luar KEK yang diusulkan, BKSL memposisikan diri untuk memenuhi permintaan lahan industri yang terus meningkat dari operator pusat data. Penyewa yang ada antara lain Neutra DC Sentul, milik Telkom Indonesia, dan IndoKeppel Data Center 1, perusahaan patungan antara Keppel Group Singapura dan Salim Group Indonesia.
RHB menambahkan bahwa BKSL akan menerima pembayaran penjualan lahan seluas 152 hektar di Sentul City senilai Rp2 triliun dari Genting Plantations Malaysia. Tahap pertama, yang diperkirakan mencapai Rp400–500 miliar, diharapkan akan cair pada kuartal ketiga tahun ini.
Danantara, yang didirikan pada bulan Februari, berencana untuk membiayai 35 proyek nasional berskala besar pada tahun 2025, dengan dukungan anggaran sebesar $20 miliar.
Indonesia meluncurkan KEK wisata medis pertamanya di Sanur, Bali, pada bulan Juni, yang dipelopori oleh perusahaan induk pariwisata milik negara, InJourney, yang kini beroperasi di bawah Danantara. Pemerintah berharap KEK Sanur dapat membantu mengurangi kerugian devisa tahunan sebesar Rp86 triliun ($5,3 miliar) dari warga Indonesia yang berobat ke luar negeri, sekaligus menarik hingga 240.000 pasien per tahun dan berpotensi menghasilkan pendapatan devisa sebesar Rp19,6 triliun ($1,2 miliar) pada tahun 2045.