Jurnalnetizen.com – Bank Central Asia, bank swasta terbesar di Indonesia berdasarkan nilai pasar, menolak tuduhan bahwa pengambilalihannya oleh Grup Djarum dua dekade lalu merupakan rekayasa, karena sahamnya tertekan menyusul gelombang spekulasi di media sosial.
Kontroversi tersebut muncul kembali setelah ekonom H.M. Sasmito Hadinagoro dari Lembaga Studi Keuangan dan Ekonomi Negara mempertanyakan penjualan 51 persen saham BCA pada tahun 2002. Ia menuduh pemerintah secara efektif menyerahkan kendali bank tersebut hanya sekitar Rp 5 triliun (bernilai sekitar $500 juta pada saat itu), meskipun BCA memiliki aset melebihi Rp 200 triliun pada saat itu.
Sasmito mengklaim saham bank tersebut bernilai Rp 117 triliun pada saat itu.
BCA mengatakan klaim tersebut salah mengartikan angka-angka tersebut. Dalam keterbukaan informasi kepada bursa pada hari Rabu, bank tersebut menekankan bahwa angka yang disebut sebagai Rp 117 triliun mengacu pada total aset, bukan kapitalisasi pasar. Perusahaan menambahkan bahwa sejak penawaran umum perdana tahun 2000, harga saham bank telah ditentukan secara transparan di Bursa Efek Indonesia.
“Saat penempatan strategis privat dilakukan, kapitalisasi pasar BCA berdasarkan harga saham rata-rata berada di kisaran Rp 10 triliun,” ujar Sekretaris Perusahaan I Ketut Alam Wangsawijaya. “Akuisisi 51 persen oleh konsorsium FarIndo melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mencerminkan kondisi pasar saat itu, dan prosesnya dijalankan oleh pemerintah secara transparan dan akuntabel.”
Bank tersebut juga membantah kabar bahwa mereka memiliki utang sebesar Rp 60 triliun kepada pemerintah. Sebaliknya, angka tersebut merupakan obligasi pemerintah yang tercatat sebagai aset di neraca BCA, yang telah lunas pada tahun 2009, ungkap perusahaan.
Meskipun ada bantahan, saham BCA tetap tertekan. Saham turun selama tiga sesi berturut-turut hingga 19 Agustus, ditutup 2,3 persen lebih rendah di level Rp 8.500, dengan 128,6 juta lembar saham berpindah tangan. Saham telah turun 3,95 persen selama seminggu terakhir dan 10,5 persen selama tiga bulan terakhir, dengan investor asing mencatatkan penjualan bersih sebesar Rp 7,66 triliun selama periode tersebut.
Penurunan ini terjadi di tengah spekulasi yang berkembang mengenai kemungkinan negara akan mengambil alih kembali kendali BCA, yang semakin memperparah volatilitas.
Namun, para analis menyoroti bahwa fundamental bank tersebut tetap kuat. BCA melaporkan kinerja yang kuat pada paruh pertama tahun 2025, dengan pertumbuhan kredit konsolidasi mencapai 12,9 persen year-on-year menjadi Rp 959 triliun ($58,21 miliar).
Laba bersih naik 8 persen year-on-year menjadi Rp 29 triliun, didukung oleh penyaluran kredit yang solid, likuiditas yang stabil, dan peningkatan volume transaksi.