Jurnalnetizen.com – Seorang menteri baru-baru ini mengungkapkan mengapa butuh waktu bertahun-tahun bagi Jakarta untuk menyelesaikan pakta perdagangan dengan Uni Eropa atau UE, dengan alasan ukuran kelompok tersebut sambil menolak menyalahkan undang-undang antideforestasi blok tersebut terhadap minyak kelapa sawit.
Pada tahun 2016, kedua belah pihak secara resmi memulai negosiasi untuk Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-UE (CEPA), sebuah kesepakatan perdagangan yang akan menghilangkan bea masuk secara signifikan.
Namun, hubungan bilateral mereka telah mengalami beberapa kemunduran selama bertahun-tahun, terutama setelah Eropa memutuskan bahwa setiap minyak kelapa sawit yang memasuki pasarnya harus membuktikan bahwa minyak tersebut tidak terkait dengan deforestasi. Peraturan UE tentang Produk Bebas Deforestasi (EUDR) ini telah menghadapi pertentangan dari banyak negara, termasuk eksportir minyak kelapa sawit terkemuka di dunia, Indonesia.
Melangkah maju ke bulan Juni 2025, pakta CEPA kini hampir selesai karena Kepala Menteri Urusan Ekonomi Airlangga bertemu dengan pejabat senior blok tersebut di kantor pusat UE di Brussels pada hari Jumat waktu setempat. Mereka juga sepakat untuk menyelesaikan negosiasi substansial pada akhir Juni 2025.
“Butuh waktu lama [bagi kami untuk merampungkan perundingan CEPA] karena isinya kompleks dan komprehensif. Mencari titik temu dengan 27 negara Eropa tidaklah semudah itu. Namun, pembicaraan sekarang sudah memasuki tahap akhir, artinya kami telah membahas hampir semua hal dalam pakta ini,” kata Airlangga dalam konferensi video pada akhir pekan lalu.
Ia mengatakan EUDR tidak ada hubungannya dengan perundingan CEPA, mengingat keduanya merupakan perjanjian terpisah. EUDR mengharuskan produsen minyak sawit untuk memberikan data geolokasi sebagai bukti bahwa produk mereka tidak berasal dari lahan gundul.
Langkah-langkah ketertelusuran yang kuat seperti itu dapat sulit dilaksanakan bagi petani kecil Indonesia yang mewakili lebih dari 40 persen perkebunan kelapa sawit di negara ini pada tahun 2023. Airlangga mengungkapkan bahwa Eropa akan memberikan perlakuan khusus terhadap minyak sawit Indonesia, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.
“Mereka juga menunda EUDR selama setahun, dan saya kira isu utama tentang keberlanjutan dan ketertelusuran produk hutan kita sudah relatif teratasi. Indonesia sudah menyiapkan semua mekanismenya, tinggal disinkronkan saja dengan UE,” kata Airlangga kepada pers.
Undang-undang antideforestasi akan mulai berlaku pada akhir tahun 2025 untuk perusahaan besar dan menengah, sedangkan untuk perusahaan mikro dan kecil baru berlaku hingga 30 Juni 2026.
Indonesia juga mengatakan bahwa mendesaknya Uni Eropa untuk mengakui keinginan standar yang berlaku di Jakarta. Presiden Prabowo Subianto telah mengamanatkan produsen minyak kelapa sawit, termasuk yang terlibat dalam memproses industri dan produksi bioenergi, untuk mendapatkan sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) guna memastikan praktik pertanian yang baik dan pengelolaan lingkungan.
Beberapa produsen di Indonesia juga memiliki sertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) — skema sertifikasi serupa tetapi tingkat global, tetapi bersifat sukarela.
Menurut Airlangga, Uni Eropa telah sepakat untuk menghapus tarif sekitar 80 persen dari ekspor Indonesia ke Eropa.
Estimasi pemerintah mengungkapkan bahwa ekspor Indonesia ke Eropa dapat melonjak 50 persen dalam beberapa tahun sejak berlakunya CEPA. Data resmi menunjukkan bahwa perdagangan bilateral mencapai $30,1 miliar pada tahun 2024, dengan Indonesia menikmati surplus $4,5 miliar.
Barang-barang Indonesia yang memasuki pasar Uni Eropa saat ini dikenakan tarif antara 10 dan 20 persen. Rekan anggota ASEAN, Vietnam, menikmati tarif 0 persen karena Hanoi telah memiliki pakta perdagangan dengan Uni Eropa mulai tahun 2020.