Jurnalnetizen.com – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, Indonesia ingin mendapatkan tarif yang lebih kompetitif dalam perundingan dengan Amerika Serikat terkait kebijakan tarif timbal balik.
“Indonesia harus mendapatkan tarif yang lebih rendah dan setara dengan tarif yang diberikan kepada negara pesaing,” kata Airlangga dalam jumpa pers bertajuk “Perkembangan Terkini Perundingan dan Diplomasi Dagang Indonesia-AS” yang dipantau secara daring dari Jakarta, Jumat.
Negara pesaing tersebut antara lain negara-negara di kawasan Asia Tenggara, serta negara-negara Asia lainnya seperti India, China, Korea Selatan, dan Jepang.
Saat ini, produk ekspor utama Indonesia, seperti garmen, alas kaki, tekstil, furnitur, dan udang, menghadapi bea masuk yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN dan non-ASEAN lainnya.
Selain itu, dengan tarif dasar global sebesar 10 persen yang dikenakan kepada Indonesia selama 90 hari ke depan, rata-rata tarif garmen Indonesia bisa mencapai hingga 47 persen. Sebab, sebelum diberlakukannya tarif 10 persen, pakaian jadi asal Indonesia sudah dikenakan tarif berkisar 10 hingga 37 persen.
Dalam perundingan tarif dengan AS, Hartarto menegaskan bahwa delegasi Indonesia akan mendorong adanya paritas tarif untuk produk-produk Indonesia.
“Kami minta tarifnya lebih adil dan tidak dikenakan tarif yang lebih tinggi,” imbuhnya.
Perundingan Indonesia dengan AS merupakan respons atas kebijakan tarif timbal balik terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia, yang diumumkan Presiden Donald Trump pada 2 April 2025.
Dalam kebijakan tarif tersebut, Indonesia dikenakan tarif timbal balik sebesar 32 persen, sementara negara-negara ASEAN lainnya menghadapi tarif yang berbeda: Filipina sebesar 17 persen, Singapura sebesar 10 persen, Malaysia sebesar 24 persen, Kamboja sebesar 49 persen, Thailand sebesar 36 persen, dan Vietnam sebesar 46 persen.
Presiden Trump juga mengumumkan penundaan selama 90 hari dalam penerapan tarif timbal balik untuk sebagian besar negara, kecuali Tiongkok. Indonesia termasuk di antara negara-negara yang menerima penangguhan penuh selama tiga bulan.