Jurnalnetizen.com – Perkawinan anak masih menjadi masalah yang mendesak di beberapa daerah di Indonesia, terutama di Lombok Timur, meskipun pemerintah telah menetapkan usia minimal 19 tahun sebagai usia legal untuk menikah.
Masih banyaknya kasus seperti ini menyoroti kebutuhan mendesak akan pendidikan publik yang lebih luas dan fasilitasi di tingkat akar rumput untuk melindungi perempuan dan anak dengan lebih baik.
Untuk mengatasi tantangan ini, Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) telah meluncurkan Pelatihan Fasilitator Remaja dan Dewasa di bawah program Perempuan Indonesia yang Hidup Tanpa Kekerasan (PIHAK).
Inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan dan mempertahankan akses ke layanan berkualitas bagi para penyintas kekerasan berbasis gender.
Menangani kasus di lapangan
Lindayani, seorang fasilitator masyarakat dari Desa Lenek Duren di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, termasuk di antara mereka yang dilatih melalui program tersebut. Dia telah menangani beberapa kasus perkawinan anak, termasuk satu kasus yang melibatkan seorang anak perempuan kelas sembilan dan seorang anak laki-laki kelas sebelas.
Gadis itu dilaporkan mengalami kehamilan yang tidak diinginkan yang berakhir dengan aborsi. Setelah mengalami kedaruratan kesehatan dan pemulihan, orang tuanya bersikeras untuk menikah.
Lindayani melaporkan kasus tersebut ke pihak berwenang setempat dan memantau proses dispensasi pernikahan. Dia juga menganjurkan pasangan tersebut untuk menunda kehamilan hingga gadis itu berusia 19 tahun. Meskipun telah berusaha, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Lombok Timur menolak permintaan dispensasi tersebut.
Akhirnya, kedua keluarga melanjutkan dengan upacara pernikahan agama yang tidak terdaftar secara resmi di negara bagian.
Tradisi lokal dan norma gender menghambat kemajuan
Ahmad Yani, fasilitator masyarakat lainnya, menjelaskan bahwa Lombok Timur telah lama menghadapi angka perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, dan diskriminasi berbasis gender yang tinggi. Di banyak masyarakat pedesaan, peran perempuan masih terbatas pada tugas-tugas domestik.
“Keyakinan bahwa tempat perempuan hanya di dapur masih berlaku. Laki-laki masih dipandang sebagai satu-satunya pembuat keputusan,” kata Ahmad.
Ia juga menyoroti praktik adat merarik, di mana seorang pria kawin lari dengan seorang wanita, dengan menekan kedua keluarga agar menyetujui pernikahan tersebut untuk menghindari aib di depan publik.
Mengubah pola pikir melalui pelatihan lokal
Ahmad dan fasilitator lainnya terus meningkatkan kesadaran tentang kesetaraan gender dan bahaya perkawinan anak. Yayasan Pulih dan Lembaga Pengembangan Sumber Daya Mitra (LPSDM), mitra pelaksana UNFPA, telah memperkenalkan program PIHAK di Desa Lenek Duren untuk mendukung upaya ini.
Saat ini, proyek PIHAK sedang berlangsung di Lombok Timur, Brebes di Jawa Tengah, Garut di Jawa Barat, dan Serang di Banten.
Dengan dukungan Pelatihan Fasilitator Remaja dan Dewasa, para fasilitator dan kepala desa di Lenek Duren diharapkan dapat lebih siap menangani kasus perkawinan anak.
Di Lombok Timur, pelatihan telah diadakan tiga kali sejak tahun 2024, meliputi kesadaran gender, fasilitasi kasus, dan teknik pemecahan masalah dalam konteks perempuan dan perlindungan anak.
Dorongan hukum dan pendidikan
Ahmat, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Lombok Timur, menegaskan kembali komitmen pemerintah daerah untuk menanggulangi perkawinan anak.
Ia mengatakan bahwa pada tahun 2021, bupati menginstruksikan semua kepala desa untuk menyusun peraturan yang bertujuan untuk mencegah praktik tersebut.
Daerah tersebut juga telah menerapkan Peraturan Bupati Lombok Timur No. 41 Tahun 2020, bersamaan dengan peraturan tingkat provinsi yang dirancang untuk menunda usia perkawinan. Sekolah-sekolah kini menyelenggarakan program kesadaran untuk mendidik siswa tentang risiko yang terkait dengan pernikahan dini.
“Kami mengingatkan siswa untuk mengejar impian mereka terlebih dahulu dan menunda pernikahan,” kata Ahmad.
Sekolah juga diharuskan untuk memasukkan pelajaran tentang dampak perkawinan anak ke dalam kurikulum mereka.
Kemajuan dan tantangan yang tersisa
Antara Januari dan Mei 2025, tercatat 27 kasus perkawinan anak di Lombok Timur secara resmi. Kabupaten ini mencatat 38 kasus pada tahun 2024, turun sedikit dari 40 kasus pada tahun 2023. Namun, angka-angka ini kemungkinan meremehkan tingkat sebenarnya dari masalah ini, karena banyak perkawinan yang tidak tercatat tidak dilaporkan.
Upaya untuk mengekang perkawinan anak di Lombok Timur terus menghadapi rintangan yang signifikan. Kolaborasi yang lebih kuat diperlukan — tidak hanya dari pemerintah tetapi juga dari masyarakat sipil, sektor swasta, dan media.
Pendidikan publik tetap penting untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya perkawinan anak. Selain melanggar hukum, hal itu juga merampas hak anak-anak untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, keselamatan, dan kebebasan dari kekerasan.
Keterlibatan dan kesadaran masyarakat yang lebih luas adalah kunci untuk mengurangi perkawinan anak dan memastikan masa depan yang lebih baik bagi kaum muda di Lombok Timur.