Jurnalnetizen.com – Presiden Prabowo Subianto telah secara resmi menyelesaikan sengketa wilayah yang telah berlangsung lama antara provinsi Aceh dan Sumatera Utara, dengan memutuskan bahwa empat pulau yang disengketakan di dekat perairan yang kaya minyak dan gas adalah milik Aceh.
Keputusan tersebut, yang diumumkan oleh Sekretaris Negara Prasetyo Hadi setelah rapat kabinet terbatas yang dipimpin oleh presiden pada hari Selasa, mengakhiri ketidakpastian administratif selama hampir satu abad.
“Pemerintah, berdasarkan dokumentasi dan data pendukung, telah menetapkan bahwa Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek secara administratif merupakan bagian dari provinsi Aceh,” kata Prasetyo.
Putusan tersebut menyusul peninjauan ekstensif yang melibatkan Kementerian Dalam Negeri, dokumen provinsi, dan data spasial dari beberapa lembaga pemerintah. Pulau-pulau tersebut sebelumnya telah ditetapkan di bawah yurisdiksi Sumatera Utara berdasarkan keputusan menteri tahun 2025, yang memicu pertentangan dari otoritas Aceh yang mengutip klaim historis.
Gubernur Aceh Muzakir Manaf memuji keputusan dan kepemimpinan Presiden Prabowo dalam menyelesaikan masalah tersebut. “Kami berharap masalah ini sekarang tuntas, tidak ada pihak yang dirugikan. Yang terpenting, pulau-pulau itu tetap berada dalam wilayah NKRI,” kata Manaf dalam jumpa pers bersama di Istana Negara, Jakarta, yang dihadiri Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution dan sejumlah anggota kabinet melalui panggilan video.
Keempat pulau itu terletak di dekat blok migas Offshore West Aceh (OSWA), wilayah strategis yang saat ini dioperasikan oleh Conrad Asia Energy Ltd. Blok tersebut, bersama dengan blok Offshore North West Aceh (ONWA) yang berdekatan, diyakini menyimpan sumber daya energi yang sangat besar. OSWA membentang seluas 8.200 kilometer persegi dan diperkirakan memiliki cadangan gas sebesar 296 miliar kaki kubik (BCF), sementara ONWA diyakini mengandung hingga 192 juta barel minyak dan 1,1 triliun kaki kubik (TCF) gas.
Meskipun cadangan minyak dan gas tepat di bawah keempat pulau itu masih belum dikonfirmasi, kedekatannya dengan blok eksplorasi utama meningkatkan taruhan dalam sengketa tersebut.
Meskipun letaknya dekat dengan pantai Sumatera Utara, Aceh telah lama mengklaim kendali historis atas pulau-pulau tersebut, posisi yang didukung oleh peta era kolonial yang berasal dari tahun 1928. Akan tetapi, pulau-pulau tersebut tidak dimasukkan dalam daftar 260 pulau terverifikasi milik Aceh dalam inisiatif pemetaan nasional tahun 2008, sementara Sumatera Utara memasukkannya dalam hitungannya.
Analisis spasial selanjutnya oleh Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2017 mendukung klaim Sumatera Utara, tetapi Aceh membantah temuan tersebut, dengan alasan koordinat yang sudah ketinggalan zaman. Sengketa tersebut meningkat lagi pada tahun 2020 ketika keputusan menteri menegaskan kembali penempatan pulau-pulau tersebut di bawah Sumatera Utara, yang mendorong Aceh untuk menuntut survei ulang.
Survei faktual pada tahun 2022 mengungkapkan bahwa meskipun pulau-pulau tersebut tidak berpenghuni, pulau-pulau tersebut memiliki penanda budaya dan agama seperti kuburan dan monumen yang didirikan oleh pemerintah Aceh. Pulau Lipan tercatat sebagian terendam.
Setelah peninjauan lebih lanjut terhadap bukti historis dan faktual, Jakarta secara resmi memutuskan mendukung Aceh pada tahun 2025, yang secara efektif mengakhiri sengketa yang telah berlangsung hampir 100 tahun.