Jurnalnetizen.com – Ada pepatah di Indonesia: “Kenapa harus dipermudah kalau bisa dipersulit?” Frasa ini sering digunakan untuk menggambarkan birokrasi negara yang terkenal berbelit-belit, dan ungkapan ini menggambarkan dengan sempurna skandal yang kini mengguncang Kementerian Ketenagakerjaan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan delapan pejabat Kementerian sebagai tersangka dalam kasus suap besar-besaran yang melibatkan pemerasan terhadap perusahaan yang mengajukan izin tenaga kerja asing. Penyidik menduga para pejabat tersebut mengumpulkan Rp 53,7 miliar ($3,3 juta) dalam bentuk pembayaran gelap antara tahun 2019 dan 2024 melalui penyalahgunaan sistematis proses persetujuan tenaga kerja asing.
Para tersangka termasuk mantan dan direktur saat ini di Direktorat Jenderal Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Pekerjaan (Binapenta) dan Direktorat Pengendalian Tenaga Kerja Asing (PPTKA) Kementerian. Di antaranya adalah Suhartono (SUH), Haryanto (HAR), Wisnu Pramono (WP), Devi Anggraeni (DA), dan beberapa petugas verifikasi yang didakwa meminta imbalan untuk pengesahan dokumen RPTKA yang merupakan dokumen wajib dalam rangka mempekerjakan tenaga kerja asing di Indonesia.
“Dalam pengurusan pengajuan RPTKA, pejabat kementerian diduga memeras pemohon,” kata Pelaksana Tugas Direktur Penyidikan KPK Budi Sukmo Wibowo. “Jika pemohon tidak membayar, dokumennya ditunda, diabaikan, atau dibiarkan tidak lengkap. Namun, mereka yang membayar diutamakan.”
RPTKA (Rencana Penempatan Tenaga Kerja Asing) merupakan prasyarat untuk memperoleh izin kerja dan izin tinggal. Tanpa itu, perusahaan menghadapi denda harian hingga Rp 1 juta per pekerja asing. Tekanan ini dilaporkan memaksa banyak orang untuk memenuhi tuntutan ilegal tersebut.
Skema ini beroperasi melalui campuran manipulasi daring dan interaksi tatap muka. Petugas verifikasi hanya memberi tahu pemohon yang membayar tentang dokumen yang hilang melalui WhatsApp, sementara yang lain dibiarkan tanpa informasi. Dalam beberapa kasus, permintaan suap dilakukan secara langsung selama kunjungan langsung ke kementerian, lengkap dengan nomor rekening bank yang disediakan untuk transfer pembayaran.
KPK mengatakan suap disalurkan ke rantai komando dan bahkan digunakan untuk mendanai kegiatan kementerian yang tidak resmi seperti makan malam staf mingguan. Sekitar 85 karyawan diduga menerima sebagian dana haram tersebut, dengan total sekitar Rp 8,9 miliar yang dibagi di antara mereka. Sekitar Rp 5 miliar dilaporkan telah dikembalikan oleh staf, termasuk staf administrasi dan pekerja kantor.
Penerima manfaat individu terbesar adalah Haryanto, seorang pejabat senior yang pernah memimpin divisi PPTKA dan Binapenta, yang diduga menerima Rp 18 miliar. Yang lain yang disebutkan termasuk Putri Citra Wahyoe (Rp 13,9 miliar), Gatot Widiartono (Rp 6,3 miliar), dan Devi Anggraeni (Rp 2,3 miliar). Bahkan staf berpangkat rendah dilaporkan menerima jutaan.
Budi mengatakan kasus ini mungkin berkembang di luar tuduhan pemerasan, seraya menambahkan bahwa penyidik juga sedang menyelidiki dugaan pencucian uang. “Kami sedang mempertimbangkan untuk menerapkan undang-undang pencucian uang karena praktik ini telah berlangsung sejak 2012,” kata Budi pada hari Jumat. “Ini akan membantu kami memulihkan aset secara lebih efektif dari individu yang terlibat.”
Jika skema pemerasan memang ada sejak 2012, itu berarti dimulai pada masa jabatan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, yang menjabat sebagai Menteri Ketenagakerjaan di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Penggantinya adalah Hanif Dhakiri (2014–2019) dan Ida Fauziyah (2019–2024).
“Dari Menteri HD (Hanif Dhakiri) hingga IF (Ida Fauziyah), kami akan meminta klarifikasi dari mereka terkait praktik yang dilakukan di bawah pengawasan mereka,” kata Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis.