Jurnalnetizen.com – Gubernur Bali Wayan Koster dengan tegas menolak keberadaan ormas GRIB Jaya di Bali. Ia mengatakan, Bali tidak akan mentolerir keberadaan preman berkedok kelompok masyarakat.
GRIB Jaya, kelompok kontroversial yang terkait dengan mantan gangster Rosario “Hercules” Marshal, baru-baru ini hadir di Bali dengan mengangkat Yosef Nahak sebagai pemimpin lokal dan membentuk cabang di Tabanan. Namun, Gubernur Koster menyebutnya sebagai “organisasi preman berkedok kelompok masyarakat.”
“Ini tidak bisa diterima. Bentuknya boleh ormas, tapi perilakunya mencerminkan premanisme,” kata Koster saat meresmikan Bale Paruman Adhyaksa dan Bale Restorative Justice di Badung, Jumat, seperti dikutip Antara.
Ia menegaskan, Badung sebagai jantung pariwisata Bali harus dijaga dari organisasi-organisasi yang tidak sah. “Kita tidak boleh membiarkan ruang publik dirusak oleh perilaku-perilaku yang tidak benar yang berkedok ormas,” katanya.
Koster mengatakan Bali tidak membutuhkan organisasi keamanan dari luar karena pulau ini sudah memiliki sistem keamanan berbasis desa yang melibatkan personel lokal yang dikenal sebagai pecalang.
“Jika sistem keamanan internal kuat, tidak perlu ada organisasi yang membawa agenda tersembunyi dengan kedok menjaga Bali,” katanya.
Pemerintah Provinsi Bali justru mendukung inisiatif yang dipimpin oleh Kejaksaan Bali melalui pembentukan Bale Paruman Adhyaksa, sebuah forum berbasis hukum adat untuk penyelesaian konflik.
Kepala Kejaksaan Ketut Sumedana mengatakan Bale berfungsi sebagai perpanjangan praktis dari hukum adat, membantu menyelesaikan sengketa perdata dan sosial secara damai. “Ini bukan hanya tentang hukum, ini tentang masa depan Bali,” imbuh Koster.
“Tidak ada ruang bagi gangster yang menyamar sebagai organisasi masyarakat di Bali,” imbuhnya.
Ormas, seperti GRIB, telah dikenal dengan taktik pemaksaannya di berbagai daerah lain di Indonesia. Di Jawa Barat, dua proyek kendaraan listrik (EV) besar yang melibatkan BYD dari Tiongkok dan VinFast dari Vietnam melaporkan adanya gangguan dan perilaku seperti preman oleh kelompok serupa, termasuk upaya pemerasan dan pemblokiran akses ketika tuntutan uang atau pekerjaan tidak dipenuhi.
Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No. 4 Tahun 2019, desa adat diberikan kewenangan hukum atas keamanan di wilayahnya masing-masing, yang memperkuat peran resmi pecalang sebagai penjaga perdamaian garis depan pulau tersebut. Lebih dari 1.500 desa adat mengandalkan lebih dari 20.000 personel pecalang untuk memastikan ketertiban setempat dan menegakkan norma budaya.