Jurnalnetizen.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadapi tantangan hukum baru menyusul disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mulai berlaku pada 24 Februari 2025.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang baru, anggota direksi dan komisaris BUMN tidak lagi diklasifikasikan sebagai pejabat negara. Pendefinisian ulang ini secara signifikan mempersempit ruang lingkup kewenangan KPK untuk mengusut tindak pidana korupsi di dalam badan usaha milik negara.
Undang-undang baru yang menggantikan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN tersebut menuai kritik tajam dari para pegiat antikorupsi yang berpendapat bahwa undang-undang tersebut melemahkan kemampuan KPK untuk mendakwa pelanggaran hukum di perusahaan-perusahaan yang melibatkan dana publik dan kepentingan strategis.
Pasal-Pasal Utama yang Diperiksa
Dua pasal khusus dalam UU No. 1/2025 menjadi sorotan:
Pasal 3X (1): “Pejabat dan pegawai BUMN tidak dianggap sebagai pejabat negara.”
Pasal 9G: “Anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN tidak dianggap sebagai pejabat negara.”
Penjelasan Pasal 9G memperjelas bahwa status seseorang yang lebih luas sebagai pejabat negara tidak dapat serta merta dicabut, namun nuansa ini tetap melemahkan landasan hukum bagi intervensi KPK dalam kasus korupsi BUMN.
Berdasarkan UU KPK No. 19/2019, komisi tersebut berwenang untuk mengusut tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, atau kasus yang melibatkan kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar. Dengan dikeluarkannya direksi dan komisaris BUMN dari kategori “pejabat negara”, kewenangan hukum KPK menjadi sangat terbatas.
Kekhawatiran Terkait Berkurangnya Pengawasan
Perubahan tersebut telah memicu kekhawatiran yang meluas, mengingat peran penting BUMN dalam perekonomian Indonesia dan risiko besar penyalahgunaan dana publik di sektor tersebut.
Juru bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto mengatakan, komisi akan melakukan telaah mendalam terhadap substansi hukum UU BUMN yang baru. Telaah internal akan melibatkan Biro Hukum dan Divisi Penindakan KPK untuk menilai bagaimana ketentuan baru tersebut memengaruhi mandat operasional KPK.
“Kajian ini penting untuk memastikan upaya antikorupsi tetap dapat dilakukan secara efektif, sejalan dengan semangat reformasi dan komitmen pemerintah untuk mencegah kebocoran anggaran,” kata Tessa.
Ia juga mengingatkan bahwa mendefinisikan ulang para eksekutif BUMN di luar ranah pengawasan negara dapat membahayakan akuntabilitas publik.
“Jangan sampai ada kesan BUMN kini kebal terhadap pemeriksaan hukum hanya karena perubahan terminologi. Itu akan menjadi preseden yang meresahkan,” imbuhnya.