Jurnalnetizen.com – Mahkamah Agung pada hari Senin mengumumkan pembentukan satuan tugas khusus untuk mengevaluasi kinerja hakim di seluruh Jakarta, menyusul penangkapan empat hakim termasuk kepala Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas dugaan korupsi.
Menurut juru bicara pengadilan Yanto, badan pengawas Mahkamah Agung akan memimpin inisiatif untuk melakukan tinjauan komprehensif terhadap perilaku peradilan.
Selain itu, pengadilan berencana untuk meluncurkan aplikasi elektronik untuk menerapkan sistem “seleksi robotik” untuk menugaskan hakim ke kasus pengadilan negeri. Langkah ini bertujuan untuk menghilangkan peluang untuk pengaturan praperadilan antara terdakwa dan panel hakim.
“Aplikasi ini diharapkan dapat meminimalkan potensi penipuan selama proses pengadilan,” kata Yanto.
Inisiatif ini muncul setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan bahwa Kepala Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dan tiga hakim lainnya ditangkap karena dicurigai menerima suap dari pengacara pembela yang mewakili tiga perusahaan yang dituduh mengekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) secara ilegal.
Para hakim tersebut diduga menerima miliaran rupiah sebagai imbalan untuk mengeluarkan pembebasan. Para terdakwa korporasi Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group dituduh melanggar larangan ekspor CPO 2022 yang diberlakukan selama kekurangan minyak goreng dalam negeri.
Seorang jaksa senior mengatakan Hakim Arif, yang diduga mengoordinasikan skema tersebut tetapi tidak duduk di panel pengadilan, menuntut Rp 60 miliar tiga kali lipat dari tawaran awal pembela.
Tiga hakim yang memimpin persidangan Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto telah ditetapkan sebagai tersangka, bersama dengan Hakim Arif, seorang panitera pengadilan, dan dua pengacara pembela.
Abdul Qohar, Direktur Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan Agung, mengatakan para hakim telah menerima pembayaran dalam mata uang asing pada beberapa kesempatan.
Kasus ini menjadi perhatian setelah Pengadilan Anti Tipikor Jakarta, yang diketuai oleh Hakim Djuyamto, mengeluarkan putusan kontroversial pada 19 Maret. Pengadilan mengakui bahwa perusahaan-perusahaan tersebut telah mengekspor CPO tanpa izin pemerintah tetapi memutuskan bahwa pelanggaran tersebut bukan merupakan tindak pidana, yang mengakibatkan pembebasan. Pengadilan juga memerintahkan pemulihan reputasi perusahaan-perusahaan tersebut.
Sebelum putusan, jaksa telah meminta denda yang sangat tinggi: Rp 11,8 triliun ($702,7 juta) dari Wilmar Group, Rp 4,8 triliun ($285,8 juta) dari Musim Mas Group, dan Rp 937 miliar ($55,8 juta) dari Permata Hijau Group.
Juru bicara Kejaksaan Agung Harli Siregar membenarkan bahwa jaksa telah menyita uang tunai Rp 1,4 triliun ($83 juta) dan puluhan kendaraan mewah dari perusahaan-perusahaan tersebut. Aset tersebut sekarang diamankan di rekening pemerintah.
Perusahaan-perusahaan tersebut dituduh melanggar larangan ekspor CPO sementara yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2022. Jaksa menduga bahwa ekspor ilegal tersebut merugikan negara sebesar Rp 18,3 triliun, karena pemerintah terpaksa mensubsidi harga minyak goreng dalam negeri untuk mengelola krisis.